Anteseden tidak tentu terjadi
Kalau ia melihat ke arahku, berarti ia suka padaku.
Perhatikan bahwa anteseden tidak tentu terjadi. Bomi tidak menyatakan apa-apa mengenai ia melihat ke arahku atau tidak.
Berhati-hatilah, karena hal semacam ini sering terjadi.
Marno, kamu suka Sinta ya?
Biasa saja.
Masa sih? Kelihatannya tidak biasa saja.
Tidak kok. Biasa saja.
Jangan malu-malu. Mengaku saja.
(kesal) Kalau saya memang menyukai Sinta, apa urusan kalian? Hah?
Cie.. cie.. cie.. ternyata benar kan, kamu suka Sinta?
Dalam pembicaraan tersebut Inge mengira bahwa Marno membuat pengakuan bahwa ia menyukai Sinta. Benarkah Marno sedang mengakui bahwa ia menyukai Sinta? Bagaimana menurutmu?
Walaupun terdapat kalimat, Saya memang mengakui Sinta,
tetapi bagian kalimat ini adalah anteseden. Marno tidak sedang membuat pengakuan. Anteseden tidak tentu terjadi. Ia hanya berusaha mengatakan bahwa masalah ia suka Sinta atau tidak bukanlah urusan teman-temannya.
Kalau | saya memang menyukai Sinta | , apa urusan kalian? |
▲ Hanya anteseden saja |
Pernahkah kamu terjebak dalam situasi semacam ini? Bagaimanakah perasaanmu?
Contoh lain
Walaupun kita sudah memahami bahwa anteseden tidak tentu terjadi, tetapi tampaknya kita akan cukup sering melakukan kesalahan semacam ini.
Kalau bisa kerja di rumah, di rumah saja untuk mengurangi efek dari wabah.
Mana bisa Bos! Situ mah enak kerja kantoran, kami ini sehari-hari baru bisa makan kalau dapat uang. Itu juga sukur-sukur kalau dapat.
.... (Kan saya bilang kalau bisa?)
Walaupun sah-sah saja Joni mengungkapkan keresahan akan hal yang ia alami, tetapi pembicaraan semacam ini sebenarnya tidak nyambung dan bukanlah pembicaraan yang baik. Dengan sedikit modifikasi, kita bisa membuat pembicaraan ini menjadi lebih baik.
Kalau bisa kerja di rumah, di rumah saja untuk mengurangi efek dari wabah.
Betul Bos. Tapi saya tidak bisa, karena saya harus bertahan hidup sehari-hari dengan berjualan di luar seperti ini.
Iya sih.
Berikutnya: Haruskah anteseden dan konsekuen berhubungan?